Serangan PMK Lintas Provinsi Mulai Terkendali

Suaramajalengka.com//Jakarta — Dalam tiga pekan belakangan, zona merah penyakit kuku dan mulut (PMK) stabil di 22 provinsi. Empat provinsi melaporkan tidak ada kasus baru. Depopulasi dilakukan untuk menghentikan penularan.

Serangan wabah penyakit kuku dan mulut (PMK) pada hewan ternak ruminansia mulai melandai. Tren penurunan ini telah terjadi selama lima pekan berturut-turut. Puncak kasus serangan virus PMK terjadi pada sekitar 26 Juni 2022, dengan insidensi infeksi seminggu terakhir 79.600-an kasus. Setelah itu, angka kasus baru rata-rata mingguannya terus menurun, dan pada 3 Agustus 2022 tercatat 47.000 dalam sepekan terakhir.

Bukan hanya pada jumlah penambahan kasusnya yang menurun, epidemiologi dari UI Profesor Wiku Adisasmito mengatakan, penyebaran virus PMK tersebut bisa dibendung dan tertahan di 22 provinsi. Penyebaran penyakit PMK itu sudah mulai terkendali dan tidak meluas.

‘’Zona merahnya cenderung stabil. Dalam tiga pekan terakhir ini, tidak terjadi penularan melintasi batas provinsi. Bahkan dari empat provinsi, dilaporkan tidak ada lagi kasus baru,’’ ujar Profesor Wiku dalam acara Internasional Media Briefing yang disiarkan kanal Youtube resmi Sekretariat Presiden, Selasa (2/8/2022). Empat provinsi yang dimaksudnya ialah Riau, DKI Jakarta, Bali, dan Kalimantan Selatan.

Namun, Profesor Wiku mengingatkan, masih ada 221 kabupaten/kota, di 19 provinsi, yang mengalami penambahan angka kasus PMK mingguannya. Kewaspadaan akan terus ditegakkan. ‘’Tindakan  surveilans, pembatasan mobilitas hewan ternak, serta langkah-langkah biosecurity akan terus dijalankan,” ujarnya, selaku Koordinator Dewan Pakar Satgas Covid-19 yang kini terlibat dalam Satgas Penanggulangan PMK itu.

Perkembangan positif dalam penanganan wabah PMK itu perlu disampaikan ke pers internasional setidaknya dalam konteks  persiapan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Nusa Dua, Bali, pada November mendatang. Wabah PMK tak boleh mengusik KTT akbar itu, utamanya di Bali.

Khusus di Bali, bekerja sama dengan pemprov setempat, Satgas Penanggulangan PMK ini memang mengambil langkah lugas. Bukan saja melarang transportasi segala jenis ternak ruminansia ke Bali dari semua provinsi yang terpapar PMK, lebih dari itu satgas juga melakukan depopulasi terhadap ternak sapi yang telah tertular atau suspek.

Sampai awal Juli lalu, dari sekitar 205 ribu ekor sapi (potong dan perah) di Bali, ada 556 ekor yang terinfeksi virus PMK dan tiga di antaranya mati. Atas kesediaan para pemiliknya, ke-553 ekor sapi yang sakit itu dipotong di tempat yang terisolasi dari hewan lain dengan prosedur biosecurity yang ketat agar tak menimbulkan penularan. Langkah  itu ternyata efektif. Dalam tiga pekan terakhir ini tak ada kasus infeksi baru lagi di Bali.

Penurunan intensitas serangan virus PMK itu juga terlihat pada dashboard yang terpajang  di laman siaga.pmk.crisis-center.id. Kasus infeksi baru masih bertambah, namun dengan kecepatan yang lebih rendah dibandingkan situasi pada Mei dan Juni. Rata-rata kasus hariannya turun dari 11.000-an menjadi 6.500-an per hari. Kasus positif aktif turun ke 164 ribu. Recovery rate naik dari 40 ke 65 persen.

Jumlah insidensi infeksi (terkonfirmasi) saat ini telah mencapai 458 ribu kasus lebih. Sebagian besar korban, yakni 95.6 persen, adalah sapi, kerbau 2,62 persen, kambing dan domba 1,1 persen, selebihnya babi. Secara umum, angka kematian langsung akibat serangan virus ini hampir satu persen. Namun, ada dua persen lainnya yang dikenai vonis pendepopulasian.

Tindakan depopulasi itu sendiri ada dua macam. Yang pertama ialah pemotongan hewan bersyarat (test and slaughter), dan yang kedua ialah pemusnahan populasi hewan (stamping out). Keputusan pendepopulasian itu atas persetujuan serta  pengawasan dokter hewan yang bertanggung jawab di daerah setempat.

Pemotongan bersyarat biasanya dilakukan bila dokter yang memeriksanya menganggap ternak yang terpapar penyakit itu tak punya harapan untuk sembuh. Pertimbangan lainnya, kalaupun dapat sembuh dalam masa pemulihan yang 28 hari maka ternak itu berpotensi sebagai agen penular. Bahkan, menurut Profesor Wiku, kalaupun sembuh ia masih bisa menjadi pembawa virus (carrier) antara enam bulan hingga maksimum dua tahun.

Untuk mengurangi risiko, hewan tersebut pun dipotong. Persyaratan pemotongan ialah  di tempat yang terpisah. Bagian jeroan, kaki, dan kepala tidak diizinkan dikonsumsi. Bagian ini harus dikubur di dalam tanah dengan prosedur biosecurity yang ketat.  Segala limbah pemotongan tak boleh masuk ke perairan umum.

Daging boleh dikonsumsi. Namun, sebelumnya dagingnya harus direbus di tempat pemotongan itu juga setidaknya selama 30 menit dalam air mendidih. Penyembelihan dilakukan oleh petugas yang mengenakan APB, dan sesudah melakukan pemotongan itu lokasi dan semua peralatan dibersihkan dengan disinfektan. Biosecurity dijalankan dengan pengawasan dokter hewan.

Prosedur yang lebih sederhana ialah stamp out. Hewan yang terinfeksi dieliminasi biasanya dengan cara di tempat dan langsung dikubur di tempat. Ketika Inggris diserang PMK tahun 2001, ada 6 juta hewan terpapar (sapi, domba, dan babi), dan jutaan di antaranya dieliminasi. Di Indonesia langkah stamp out itu tak dijalankan.

Untuk setiap ekor hewan ternak ruminansia besar yang harus menjalani pemotongan bersyarat itu, pemerintah memberikan kompensasi, melalui Kementerian Pertanian. Untuk setiap ekor sapi atau kerbau yang “dieliminasi”, bantuan konpensasinya sebesar Rp10 juta. Untuk kambing dan domba Rp1,5 juta per ekor dan untuk babi Rp2 juta per ekor.

Untuk menangkal penyebaran PMK itu, satgas melakukan vaksinasi, utamanya kepada ternak yang berisiko tertular. Per 3 Agustus 2022, cakupan vaksinasinya sudah mencapai 990 ribu ekor. Provinsi Bali mencatat angka vaksinasi tertinggi dengan cakupan di atas 25 persen.

(@aher/lndonesia.go.id)

Pos terkait