MK Tolak Gugatan Nikah Beda Agama

Suaramajalengka.com//Jakarta – Mahkamah Konstitusi  (MK) menolak gugatan terkait pernikahan beda agama yang diajukan oleh E. Ramos Petege. Permohonannya dinilai tidak beralasan menurut hukum.

“Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam persidangan yang digelar hari ini, Selasa (31/1).
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” sambungnya.
Dalam gugatannya, Ramos yang merupakan Katolik hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Tetapi harus dibatalkan karena tidak diakomodasi dalam UU perkawinan soal pernikahan beda agama.
Dia merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Adapun dalam pertimbangannya, MK menyatakan tidak menemukan adanya perubahan keadaan dan kondisi atau pun perkembangan baru terkait dengan persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencatatan perkawinan.
Sehingga tidak terdapat urgensi bagi MK untuk bergeser dari pendirian atas putusan sebelumnya. MK setidaknya sudah dua kali menolak gugatan yang serupa.

“Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata hakim MK.
Dalil Ramos yang berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 8 huruf f UU 1/1974 dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Kemudian, mengenai norma Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 8 huruf f UU 1/1974 dinilai oleh MK tidak bertentangan dengan prinsip jaminan hak memeluk agam dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, hak untuk hidup dan bebas dari perlakuan diskriminatif, hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

“Dengan demikian permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata hakim MK.

Latar Belakang Gugatan
Permohonan gugatan ini teregister dalam perkara Nomor 24/PUU-XX/2022. Objek pengujiannya yakni UU Perkawinan ini diajukan oleh E. Ramos Petege. Ramos merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.
Dikutip dari laman MK, perkawinan Ramos harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan. Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan.
Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.

Adapun materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Menurutnya, ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan: ‘Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.’
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan: ‘Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.’
Sedangkan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyatakan: ‘Perkawinan dilarang antara dua orang yang: f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.’

Proses Persidangan: Rocky Gerung dan Ade Armando Jadi Ahli

Dikutip dari laman MK, dalam persidangan, sempat ada dua ahli yang dihadirkan oleh Ramos. Pertama, yakni Ade Armando yang juga pakar Komunikasi Bidang Semiotika (mempelajari tanda, pesan, teks). Dia melandaskan pemikirannya pada teks-teks Islam.

Menurutnya, tidak ada satu pun teks di dalam Al-Qur’an yang mengharamkan semua bentuk pernikahan antar agama. Hal yang secara jelas disebutkan dilarang, sambung Ade, hanyalah pernikahan antara muslim dengan musyrik dan kafir.
Sehingga tidak ada yang menyatakan pernikahan beda agama termasuk antara muslim dengan Nasrani adalah sesuatu yang haram.
“Jadi, yang berlangsung adalah perbedaan tafsir, dan perbedaan ini yang menyebabkan perbedaan keyakinan memahami aturan mengenai perkawinan beda agama,” kata Ade.

Dalam persidangan juga dihadirkan sosok Rocky Gerung sebagai Ahli. Rocky menyampaikan pandangannya berdasarkan filsafat hukum. Kata Rocky, UU Perkawinan justru bermasalah karena mengatur yang disediakan oleh alam.
Perkawinan adalah peristiwa perdata dan di dalam undang-undang disebut sebagai hak dan bukan kewajiban. Dalam undang-undang tersebut jelas mengatakan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Sehingga hak dapat dimaknai sesuatu yang boleh diambil atau dilaksanakan dan boleh tidak. Kedudukan hak tersebut adalah fakultatif bukan imperatif.

“Oleh karena itu perkawinan adalah hak dan bukan kewajiban. Jika seseorang menggunakan haknya, maka negara harus mencatatkannya secara administratif bahwa dia telah menggunakan haknya,” jelas Rocky.
Demikian juga hak beragama, menurut Rocky, juga bukan kewajiban sehingga negara tidak boleh menyuruh orang untuk beragama. Sehingga, dari dua hak yang bersifat fakultatif ini, negara tidak punya alasan menjadikannya menjadi imperatif atau keharusan. Maka, hal ini dipandang Rocky menjadi sebuah kekacauan logis yang berakibat pada paradoks.
Oleh karena itu, setiap perkawinan adalah keputusan privat setiap orang yang harus dilayani oleh negara. Maka, demi ketegasan tentang hak dan kewajiban negara hanya boleh mencatat peristiwa itu sebagai peristiwa perdata.
“Yang jadi masalah sekarang adalah negara memanfaatkan agama untuk mengatur kamar tidur orang, itu enggak boleh. Demikian sebaliknya, agama memanfaatkan negara untuk mengintip kamar tidur orang, itu juga enggak boleh. Bahwa kemudian itu dosa, segala macam, itu urusan dia dengan akhirat nanti itu. Bukan urusan negara untuk memastikan hal-hal yang bersifat privat itu,” jelas Rocky.
Sedangkan ahli dari Dewan Da’wah, Teten Romly Qomaruddien, menyebut pernikahan beda agama menimbulkan kemudharatan. Menurut Teten, sebagai bangsa yang beragama maka perlu memperhatikan pentingnya menempatkan falsafah negara yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi dalam bingkai NKRI.
Teten menjelaskan, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Bab 1 Pasal 1 yang berbunyi: ‘Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan tetap berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.’

Kemudian pada Bab 1 Pasal 2 ayat (1) berbunyi: ‘Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.’ Demikian pula Bab 1 Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: ‘Tiap-tiap perkawinan itu dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.’
“Semua itu menurut ahli sudah relevan dengan kepribadian bangsa yang beragama dan menjunjung tinggi konstitusi negara selain sesuai dengan pentingnya merawat sumber daya manusia yang menjunjung akal sehat dan akal selamat juga memenuhi hakikat jalan hidup dan jalan mati manusia untuk menuju dua alam kebahagiaan hakiki,” kata dia.
Namun demikian, gugatan tersebut telah ditolak oleh MK.

(@aher/kumparan.com)

Pos terkait