Menjaga Keberlanjutan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Suaramajalengka.com//Jakarta — Bank Indonesia memperkirakan perekonomian pada triwulan II-2022 terus melanjutkan perbaikan. Hal itu ditopang oleh peningkatan konsumsi dan investasi nonbangunan serta kinerja ekspor yang lebih tinggi dari proyeksi awal.

Ketegangan geopolitik yang masih terus berlanjut antara Rusia-Ukraina telah menjadi salah satu faktor melambatnya perekonomian global. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi global pun diperkirakan tumbuh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.

Dampak lanjutan lainnya dari situasi geopolitik di Benua Biru itu adalah ancaman dunia dari risiko stagflasi–terjadinya inflasi dan kontraksi yang bersamaan, dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Bahkan, harga sejumlah komoditas cenderung naik seiring dengan berlanjutnya gangguan rantai pasokan, sebagai dampak ketegangan geopolitik di kawasan Eropa yang terus berlangsung serta meluasnya kebijakan proteksionisme, terutama pangan.

Menyikapi kondisi ketidakpastian itu, Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara merespons peningkatan inflasi tersebut dengan melakukan pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif. Sebagai informasi, sejak Mei 2022 AS telah mengalami inflasi 8,6 persen. Itu merupakan inflasi tertingginya sejak 1981.

Kemudian, the Federal Reserve (the Fed) resmi menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, pada Rabu (15/6/2022). Kenaikan suku bunga ini merupakan kenaikan paling agresif sejak 1994, yang dilakukan demi menekan inflasi AS yang cukup tinggi.

Usai menggelar Federal Open Market Committee (FOMC), the Fed menaikkan suku bunga acuannya di kisaran 1,5 persen sampai dengan 1,75 persen. Bank sentral AS juga berpotensi melanjutkan kenaikan suku bunganya untuk menekan inflasi yang bergerak cepat.

Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi global pada 2022 diperkirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang 3,5 persen, menjadi sebesar 2,9 persen. Dari gambaran di atas, ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi dan mengakibatkan terbatasnya aliran modal asing serta menekan nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Respons Bank Indonesia

Berpijak dari gambaran perekonomian global di atas, Bank Indonesia pun telah meresponsnya. Mereka telah mengadakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20–21 Juli 2022. Pelbagai aspek dibahas di RDG tersebut, baik kondisi perekonomian global dan dampaknya bagi ekonomi domestik.

“Perbaikan ekonomi domestik diperkirakan terus berlanjut, meskipun dampak perlambatan ekonomi global tetap perlu diwaspadai,” ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi persnya, Kamis (21/7/2022).

Menurut Perry, perekonomian domestik pada triwulan II-2022 diperkirakan terus melanjutkan perbaikan, ditopang oleh peningkatan konsumsi dan investasi nonbangunan serta kinerja ekspor yang lebih tinggi dari proyeksi awal. Berbagai indikator dini pada Juni 2022 ditambah hasil survei Bank Indonesia terakhir, seperti keyakinan konsumen, penjualan eceran, dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur mengindikasikan terus berlangsungnya proses pemulihan ekonomi domestik.

Dari sisi eksternal, kinerja ekspor lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya, khususnya pada komoditas batubara, bijih logam, dan besi baja didukung oleh permintaan ekspor yang tetap kuat dan harga komoditas global yang masih tinggi. Perry juga menambahkan, kondisi makro Indonesia juga ditunjang dengan pertumbuhan ekonomi, berupa perbaikan berbagai lapangan usaha, seperti industri pengolahan, perdagangan, serta transportasi dan pergudangan.

Ke depan, perbaikan perekonomian domestik didukung oleh peningkatan mobilitas, sumber pembiayaan, dan aktivitas dunia usaha. Namun demikian, perlambatan ekonomi global dapat berpengaruh pada kinerja ekspor, sementara itu kenaikan inflasi dapat menahan konsumsi swasta.

“Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2022 diperkirakan bisa ke bawah dalam kisaran proyeksi Bank Indonesia pada 4,5 persen-5,3 persen,” ujar Gubernur Bank Indonesia.

Bahkan, Perry juga menjelaskan, kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) diperkirakan tetap baik, di tengah meningkatnya tekanan terhadap arus modal. Transaksi berjalan pada triwulan II-2022 diperkirakan mencatat surplus, lebih tinggi dibandingkan dengan capaian surplus pada triwulan sebelumnya.

Demikian pula neraca transaksi modal dan finansial diperkirakan tetap terjaga didukung oleh aliran modal masuk dalam bentuk penanaman modal asing (PMA), investasi portofolio, dan posisi cadangan devisa yang tetap terjaga.

Berpijak dari kondisi makro ekonomi, terutama kondisi domestik, dalam RDG yang diselenggarakan selama dua hari, yakni pada Rabu-Kamis (20/7/2022-21/7/2022), Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5 persen. Artinya, sudah 18 bulan lamanya Bank Indonesia menahan suku bunga acuan di level yang sama.

Keputusan tersebut menuai apresiasi dari sejumlah kalangan yang menilai, langkah BI bakal berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Suku bunga yang berada di level rendah, akan menopang ekspansi dunia usaha serta konsumsi masyarakat.

Kendati demikian, kebijakan untuk menahan suku bunga acuan tersebut bukannya tanpa risiko. Semuanya ada risiko setiap satu keputusan diambil.

Namun, Gubernur BI Perry Warjiyo berkilah bahwa keputusan menahan suku bunga acuan tentu dilakukan dengan sejumlah pertimbangan. Salah satunya, mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih lambat dari yang diperkirakan sebelumnya.

BI memandang perekonomian global yang diperkirakan melambat tahun ini dapat memengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Selain itu, kenaikan inflasi berisiko menahan laju konsumsi swasta.

Bank sentral memprediksi ekonomi tahun ini cenderung tumbuh di batas bawah kisaran 4,5 persen-5,3 persen. “Pertimbangan inflasi inti yang masih dalam sasaran dan risiko perlambatan itu memengaruhi kenapa kami masih mempertahankan BI7DRR,” ujar Perry.

Keputusan BI tersebut melanggengkan status Indonesia sebagai salah satu dari sedikit negara yang kukuh melonggarkan kebijakan suku bunga.

BI memang masih memiliki ruang yang leluasa untuk mempertahankan suku bunga lantaran inflasi inti masih dalam rentang sasaran BI dengan capaian 2,6 persen secara tahunan pada Juni 2022. Bank sentral itu menargetkan inflasi pada kisaran 2 persen-4 persen.

Bagaimana respons pelaku usaha terhadap keputusan BI untuk tetap mempertahankan suku bunga BI7DRR tersebut? Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W Kamdani berharap, suku bunga BI sebaiknya terus dipertahankan tetap rendah di tengah pemulihan ekonomi.

“Suku bunga yang rendah akan membuat pengusaha lebih percaya diri untuk berekspansi,” ujarnya.

Harapannya, keputusan bank sentral untuk tetap mempertahankan suku bunga yang tetap rendah diharapkan tetap memacu konsumsi dan investasi. Sehingga, pertumbuhan ekonomi negara ini tetap terjaga.

(@aher/lndonesia.go.id)

Pos terkait